Indonesia, sebagai negara yang terletak di wilayah cincin api Pasifik dan memiliki garis pantai yang panjang, menghadapi risiko bencana yang tinggi. Risiko ini ditentukan oleh tiga komponen utama: ancaman, kerentanan, dan kapasitas wilayah. Pemahaman terhadap ketiga aspek ini sangat penting untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan mitigasi dalam menghadapi bencana.
A. Ancaman sebagai Sumber Risiko Bencana
Ancaman adalah potensi bahaya yang dapat menyebabkan kerusakan, kerugian, atau dampak negatif lainnya pada manusia dan lingkungan. Di Indonesia, berbagai ancaman bencana dapat dikategorikan sebagai berikut:
- Bencana Geologi: Gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami adalah ancaman geologi utama di Indonesia. Contohnya, gempa dan tsunami Aceh pada 2004 menjadi salah satu peristiwa bencana terbesar di dunia.
- Bencana Hidrometeorologi: Banjir, longsor, badai tropis, dan kekeringan sering terjadi akibat kondisi cuaca ekstrem dan perubahan iklim.
Ancaman ini tidak dapat dihindari sepenuhnya, tetapi dampaknya dapat diminimalkan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi yang tepat.
B. Kerentanan sebagai Faktor yang Memperburuk Risiko Bencana
Kerentanan mencerminkan seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh bencana terhadap suatu wilayah atau kelompok masyarakat. Dalam memahami kerentanan, ada terbagi menjadi beberapa jenis:
1. Kerentanan Sosial: Berhubungan dengan kondisi masyarakat, seperti:
-
Jenis kelamin: Perempuan sering lebih rentan karena tanggung jawab domestik dan akses yang terbatas ke sumber daya (UN Women, 2018).
-
Usia: Anak-anak (0-15 tahun) dan lansia (>64 tahun) lebih sulit mengevakuasi diri dan memiliki kebutuhan khusus selama bencana (UNICEF, 2021).
-
Tingkat pendidikan: Masyarakat dengan pendidikan rendah cenderung kurang memahami tanda-tanda peringatan dini atau langkah mitigasi (BNPB, 2022).
-
Kondisi ekonomi: Kelompok miskin sering tinggal di kawasan rawan bencana dengan infrastruktur minim (World Bank, 2019).
2. Kerentanan Fisik: Berhubungan dengan kondisi infrastruktur dan lingkungan, seperti:
- Bangunan yang tidak tahan bencana.
- Lokasi bangunan yang terlalu dekat dengan pantai atau lereng curam.
- Infrastruktur penghubung yang mudah rusak, seperti jembatan dan jalan.
Kerentanan Lingkungan: Ekosistem yang rusak, seperti hutan gundul atau terumbu karang yang hancur, meningkatkan risiko bencana seperti banjir dan tsunami (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2020).
C. Kapasitas Wilayah sebagai Kekuatan dalam Menghadapi Bencana
Kapasitas dalam resiko bencana dimaksud dengangan kemampuan masyarakat dan wilayah untuk mengurangi risiko bencana, menanggulangi dampaknya, dan pulih setelahnya. Cakupan kapasitas wilayah meliputi:
1. Kapasitas Individu dan Komunitas:
Pemahaman masyarakat tentang tanda-tanda bencana dan langkah mitigasi.
Adanya relawan tanggap bencana di komunitas lokal.
2. Kapasitas Infrastruktur:
Bangunan yang dirancang sesuai standar tahan bencana.
Sistem peringatan dini, seperti sirine tsunami dan aplikasi kebencanaan.
3. Kapasitas Pemerintah dan Lembaga:
Adanya kebijakan mitigasi bencana yang jelas dan terintegrasi.
Dukungan logistik dan sumber daya untuk evakuasi dan pemulihan.
Kapasitas yang kuat dapat mengurangi dampak bencana meskipun ancaman dan kerentanan tetap ada.
D. Kesimpulan: Pentingnya Pendekatan Holistik
Risiko bencana tidak hanya bergantung pada ancaman, tetapi juga pada tingkat kerentanan dan kapasitas wilayah. Untuk mengurangi risiko secara efektif, diperlukan pendekatan holistik yang mencakup:
Mitigasi ancaman: Mengidentifikasi dan memantau potensi bencana secara berkala.
Pengurangan kerentanan: Memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, fisik, dan lingkungan masyarakat.
Peningkatan kapasitas: Meningkatkan kesiapsiagaan, infrastruktur, dan kebijakan mitigasi.
Dengan memahami ketiga komponen ini, Indonesia dapat lebih siap menghadapi berbagai ancaman bencana yang ada, melindungi masyarakat, dan mempercepat pemulihan pasca-bencana.